Sekapur Sirih Mang Daya

Antrian BLT

anak jalanan

test iii

buruh tani

Bung Karno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI 65 tahun yang lalu Antrian BLT membuat rakyat Indonesia bagaikan pengemis Anak-anak pun dipaksa menjadi pengemis di jalanan kota-kota besar BBM yang jadi kebutuhan rakyat banyak kian sulit dijangkau Usia lanjut masih menjalani sebagai buruh tani. Pertanian tak lagi banyak memberi harapan

Selasa, 17 Agustus 2010

Ancaman Liberalisasi dan Benang Kusut Dunia Pendidikan Kita

sekolah rusak/rilisindonesia.com
Setiap tanggal 2 Mei kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Namun, hingga enam dasawarsa lebih dunia pendidikan kita masih seperti benang kusut dan semakin penuh keluhan, antara lain kebijakan yang terus berubah dan tambal sulam, biaya pendidikan yang semakin mahal dan tidak terjangkau masyarakat, serta kualitas pendidikan yang rendah Saat jumlah masyarakat miskin semakin bertambah, dunia pendidikan kita justru semakin dibayangi liberalisasi dan privatisasi.

Hingga kini dunia mempercayai pendidikan sebagai sarana mobilitas sosial paling ampuh. Dengan pendidikan manusia bisa meningkatkan kemampuan dan kualitas kehidupan, mampu melepaskan diri dari ketertinggalan dan kemiskinan. Dan dengan manusia-manusia berkualitas seperti itu, sebuah bangsa akan tumbuh menjadi maju  dan kuat.
   
Namun, apa boleh buat, hingga 60 tahun lebih merdeka, bangsa kita tak kunjung berhasil membangun pendidikan yang kuat. Kebijakan pendidikan bangsa kita masih terus berubah dan tambal sulam. Mutu pendidikan kita bahkan kalah dari negara-negara Asean. Dan yang lebih mencemaskan, lembaga pendidikan kita kini malah berubah jadi makhluk ekonomi. Pendidikan yang berkualtias semakin elite dan mahal, sehingga tidak terjangkau masyarakat bawah, bahkan menengah.
   
Salah satu bukti, peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini justru diwarnai gelombang unjuk rasa di berbagai wilayah di Tanah Air. Aspirasi paling menonjol dalam aksi-aksi itu adalah protes semakin mahalnya biaya pendidikan. Warnai lain, adalah protes atas hasil dan pelaksaan Ujian Nasional.


Jelas dan Tepat
   
Peringatan Hardiknas tahun ini memang kebetulan hampir bersamaan dengan pengumungan hasil Ujian Nasional (UN) SMA/SMK/MA 2010 yang diumumkan pada tanggal 24 April 2010. Hasil UN ini mengejutkan banyak pihak, karena meningkatnya jumlah siswa yang tidak lulus. dan banyaknya sekolah yang 100 persen siswanya tidak lulus 100 persen.
   
Sebanyak 154.979 atau sekitar 10,12 persen dari 1.522.162 siswa peserta UN 2010 dinyatakan tidak lulus. Terdapat 267 sekolah yang siswanya 100 persen tidak lulus. (lihat: Meluruskan Tambal Sulam Ujian Nasional). Hasil ini membuat pihak sekolah, para guru, siswa, dan orangtua bingung dan tertekan. Terutama para siswa dan orangtua, yang juga harus memikirkan mencari perguruan tinggi, yang kini tak kalah membuat stress.
   
Kebijakan Ujian Nasional (UN) adalah salah satu contoh kebijakan pendidikan kita yang sering berubah dan tambal sulam. Sejak diberlakukan tahun 2004, kebijakan UN menuai banyak perdebatan, protes, bahkan sampai dibawa ke pengadilan. Tapi pemerintah tetap kekeuh melaksanakan.

Masyarakat sesungguhnya bukan menolak UN. Bagaimanapun, pendidikan harus punya standar sebagai parameter kualitas, untuk mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran. Namun pengukuran itu harus dilakukan dengan sistem yang baik dan adil untuk semua pihak. Tidak adil seorang siswa yang berprestasi baik selama 3 tahun terpaksa tidak lulus karena nilai salah satu mata pelajaran yang diujikan dalam UN kurang nol koma sekian. Tidak adil kalau sekolah-sekolah di pedalaman Kalimantan atau Papua disamakan dengan sekolah di Jakarta atau Pulau Jawa.

Dengan standar mutlak seperti itu, sekolah, guru, dan siswa, sebagai obyek pendidikan seperti dimarjinalkan. Akibatnya, UN membuat guru dan siswa sama-sama stres. Satu tahun kegiatan dipusatkan untuk persiapan menghadapi UN. Praktis, praksis pendidikan di kelas akhir setiap tingkatan sekolah disempitkan menjadi semacam bimbingan belajar. Ini menyalahi konsep pendidikan.

Inilah persoalan utama dunia pendidikan kita selama. Hampir setiap ganti menteri, ganti peraturan. Dunia pendidikan, yang sangat penting dalam memacu kemajuan bangsa,  dijadikan semacam kelinci percobaan. Kebijakan pendidikan terus berubah, tambal sulam, dan tak kunjung baik.  

Ini tidak boleh terus berlanjut. Bangsa kita telah berada di ambang krisis. Angka kemiskinan dan pengangguran terus membesar. Adalah tugas pemerintah menyediakan pendidikan yang terjangkau dan berkualitas. Pemerintah perlu mengambil kebijakan yang jelas dan  tepat melaksanakan dengan tegas. Jangan lagi logika pedagogis (ilmu pendidikan) dikalahkan arogansi kekuasaan politis. Sasaran pembangunan pendidikan adalah rakyat. Obyek pendidikan adalah sekolah, guru, dan siswa. Kita akan semakin jauh tertinggal kalau terus-menerus menalakukan eksperimen kebijakan yang konyol-konyol.

Liberalisme Perguruan Tinggi

Selain UN, perdebatan lain yang banyak mengemuka menjelang Hardiknas tahun ini adalah dibatalkannya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Mahkamah Konstitusi pada pertengahan Maret 2010.

Sejak sebelum disahkan DPR, Desember 2008, UU BHP ini mendapat tentangan keras dari banyak kalangan, karena dinilai melegalkan komersialisasi dan liberasisasi pendidikan. Ketentuan UU itu membuat lembaga pendidikan perguruan tinggi negeri, ibarat perusahaan. UU ini membuat biaya pendidikan di perguruan tinggi semakin mahal dan tidak terjangkau masyarakat miskin. Perguruan tinggi negeri terkenal seperti UI, ITB, UGM, IPB, dan UNAIR, dan yang lain hanya diisi anak-anak orang mampu.
   
Meskipun UU BHP sudah dibatalkan, komersilisasi ini dikhawatirkan akan terus berjalan. Sebab, sebelum BHP pun, perguruan tinggi negeri terkemuka tadi sudah dibolehkan menerima mahasiswa lewat jalur khusus. Jalur khusus ini sesungguhnya memiliki makna “uang”. Yang bisa menyumbang lebih besar, atau membayar uang kuliah lebih mahal, boleh pura-pura tes dan masuk duluan. Alasannya, untuk subsidi silang. Tapi yang jelas, mereka mengurangi jatah anak dari kalangan tidak mampu,  yang biasanya mengikuti seleksi reguler.
   
Artinya, sebelum BHP pun kursi perguruan tinggi negeri sudah banyak ditempati anak-anak mampu. Dan semangat ini agaknya terus akan berjalan, karena setelah UU BHP dibatalkan, pihak perguruan tinggi negeri ini sibuk mencari format pengganti. Dan Kementerian Pendidikan Nasional agaknya merestui.
   
Satu hal yang pasti, pimpinan-pimpinan di Kementerian Diknas pasti tahu, satu cara untuk membangun bangsa adalah dengan menyediakan pendidikan yang murah dan berkualitas. Semua bangsa di dunia melakukan itu, bahkan bangsa yang lebih miskin dan belakangan merdeka, seperti Vietnam.
   
Tahun 1970-an, Malaysia banyak meminta guru dari Indonesia untuk mengajar di sekolah maupun perguruan tinggi mereka. Juga banyak pelajar dan mahasiswa yang dikirim menuntut ilmu ke Indonesia (dan berbagai negara di dunia).  Jauh-jauh hari, mereka  menempatkan posisi pendidikan dan pembangunan SDM sebagai prioritas, sehingga dalam waktu singkat, mereka berhasil mengungguli Indonesia dalam kualitas pendidikan.  
   
Jepang juga melakukan hal yang sama setelah luluh-lantak dalam Perang Dunia II. Mereka memusatkan pikiran dengan sangat serius membangun sarana dan prasarana pendidikan.  Akibatnya, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat cepat. Mereka maju dengan cepat, bahkan menjadi motor ekonomi dunia, meski kekayaan sumber daya alamnya tidak seberapa. Bahkan negara mini seperti Singapura bisa menjadi pusat ekonomi dan kaya raya, meski tanpa kekayaan alam sama sekali, karena manusianya dididik menjadi orang cerdas.
   
Jika negara-negara sangat maju dan kaya seperti Jerman berusaha memberikan pendidikan yang murah (bahkan gratis), sungguh tidak masuk akal kalau negara berpenduduk banyak, dan mayoritas miskin, membiarkan lembaga pendidikan menjadi makhluk ekonomi.

Jujur dan Murah
   
Dengan adanya ketentuan 20 persen dana APBN untuk pendidikan, sebetulnya pendidikan di Indonesia tidak perlu lagi mahal. Sebab, setiap daerah mendapat dana pendidikan dari APBN dan APBD. Persoalannya, pemerintah daerah dan pengelola dana pendidikan tidak jujur atau tidak benar-benar memanfaatkan dana ini untuk pendidikan.
   
Dalam UN tahun ini, daerah yang secara nasional paling banyak siswa yang tidak lulus dalam adalah NTT (18.333 siswa). Menurut Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga NTT, hal ini disebabkan rendahnya pemahaman guru terhadap kurikulum, kurangnya sarana dan prasarana penunjang, jumlah guru yang terbatas, rendahnya tanggung jawab orangtua atas pendidikan, ditambah kurangnya perhatian pemda kabupaten/kota terhadap pendidikan.
   
Hal ini perlu dipertanyakan. Tahun 2009, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga NTT mengelola dana Rp 100 miliar dari APBD dan Rp 300 miliar dari APBN. Sementara tahun 2010 meningkat menjadi Rp 250 miliar dari APBD dan Rp 400 miliar dari APBN. Diapakan dana itu, sehingga hampir 50 persen siswa tidak lulus UN?
   
Belakangan ini beberapa daerah mampu menggratiskan sekolah, bahkan sampai SLTA, seperti Jembrana, Enrekang, dan Sinjai. Di Sumatera Selatan, dengan dana patungan dari APBD provinsi dan APBD masing-masing kabupaten/kota, pemerintah berhasil menggratiskan pendidikan dari tingkat SD hingga SMA (juga kesehatan). Kenapa daerah lain tidak bisa?
   
Pemerintah pusat, terutama Kementerian Diknas, mestinya bisa mengontrol pemanfaatan dana ini. Otonomi daerah bukan berarti daerah bisa sesuka-sukanya, karena mereka bagian dari Indonesia. Begitu pula dengan dana Bantuan Operasional Sekolah. Dana itu luar biasa besar? Benarkah dana itu dipergunakan? Dipakai untuk apa?  Apakah ada kontrol? Dana BOS mencakup pembiayaan pendidikan (SPP), uang penerimaan siswa baru (PSB), biaya ujian sekolah, dan buku. Tapi mengapa masyrakat mengeluh biaya sekolah anak mahal. Mengapa masuk SMP dan SMA di sekitar Jakarta orangtua siswa baru harus membayar sampai belasan juta rupiah?
   
Kalau dana APBN yang dikelola Kementerian Diknas, dan yang diberikan ke daerah-daerah benar-benar dimanfaatkan untuk pendidikan, mestinya pendidikan kita tidak perlu mahal dan tidak bermutu. Mestinya tidak banyak gedung sekolah yang mau (atau sudah) rubuh. Mestinya tiap SD bisa memiliki kelas komputer. Tapi, akan lain persoalan kalau tidak dikontrol, atau pura-pura tidak tahu.

Arah Pendidikan
   
Salah satu keluhan terbesar tahun-tahun belakangan ini, adalah tingginya angka  pengangguran, temasuk para sarjana. Menurut banyak kalangan, termasuk pakar pendidikan Arif Rahman, selain karena lapangan kerja memang sedikit, para sarjana itu siap kerja, atau ilmu yang dimilki tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. “Sarjana memang tidak siap kerja. Ya, industri itulah yang mendidik,” ujar Arif Rahman.
   
Hal ini perlu menjadi perhatian Kementerian Diknas. Kementerian perlu meninjau sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, dan jurusan kompetensi yang dimiliki. Dari realitas jumlah penduduk yang sangat besar dan tingkat ekonomi yang rendah, yang dibutuhkan masyarakat sesungguhnya  pekerjaaan. Artinya, pendidikan yang dibutuhkan adalah pendidikan yang memberikan keterampilan skil.
   
Ketika membuka Lomba Kompetensi Siswa (LKS) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Pameran Karya SMK XVII 2009 di Jakarta, Mei 2009, mantan Mendiknas Bambang Soedibyo mengemukakan, pemerintah akan mengembangkan dan meningkatkan pendidikan sekolah kejuruan dan politeknik sebagai arah pendidikan di masa depan. Karena, selain membuat generasi muda cepat dan siap bekerja, peningkatan pendidikan vokasi ini akan mendukung  industri dan ekonomi bangsa berkembang lebih cepat. Bukan hanya siap kerja, tapi juga mampu menciptakan pekerjaan.
   
Karena itu, kata Bambang Soedibyo ketika itu, rasio perbandikan SMK : SMA yang tahun 2008 sekitar  47 : 53, akan digeser menjadi 1 : 2 pada tahun 2014. Ini rencana yang perlu diteruskan. Kalau yang dibutuhkan memang bekerja, lebih baik masuk SMK. Setiap lulusan SMK punya keterampilan sesuai jurusannya. Kalau perlu diberi sertifikat, sehingga mereka bisa bekerja dimana saja, bahkan di luar negeri. Dalam pembangunan Jembatan Suramadu di Surabaya, bahkan tukang amplas pun dari China. Orang Indonesia bukan tak mampu mengamplas, tapi orang China itu punya sertifikat mengamplas.
   
Demikian juga untuk tingkat perguruan tinggi. Hingga saat ini Indonesia hanya memiliki 29 politeknik negeri. Kementerian Diknas perlu mengembangkan dan mengkampanyekan pendidikan vokasi (politeknik), agar  generasi muda cepat tersalur bekerja. China bisa jadi perbandingan. Tahun 1998, China hanya memiliki 299 politeknik. Tahun 2007, jumlah politeknik sudah mencapai 1.076, atau meningkat 400 persen. Peningkatan luar biasa ini jadi pendukung industri dan ekonomi Cina melesat pesat.
   
Indonesia tepat mengadopsi konsep ini, karena sama-sama memiliki jumlah penduduk yang besar. Anak mudah diarahkan mengambil pendidikan politeknik dan bahasa Inggris. Dengan demikian mereka bisa bekerja di mana saja. Kita tidak perlu lagi mengirim TKW ke luar negeri, tapi tenaga bangunan sipil, perakit elektronik, paramedis rumah sakit, dan sebagainya.

Moral Pendidikan
   
Satu hal lain yang tak kalah mencemaskan akhir-kahir ini adalah soal akhlak dan budi pekerti anak didik dan generasi muda secara umum. Hari Pendidikan Nasional diambil dari tanggal lahir Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendiri Tamansiswa. Betapa menyedihkan, ajaran Ki Hadjar Dewantara, yaitu pendidikan yang berlandaskan akhlak dan budi pekerti luhur, kini justru ditinggalkan.
   
Betapa menyedihkan melihat anak-anak sekolah senang dan bangga tawuran dengan sekolah  lain. Anak-anak remaja pergi menonton pertandingan bola dengan membawa golok, rantai, gir, bahkan tombak, seperti mau perang jaman purba. Mahasiswa satu fakultas tawuran karena kalah main bola dan merusak gedung kampus. Kenapa anak didik bisa begini? Para orangtua dan guru mengajarkan apa?
   
Ada contoh baik pendidikan yang menggabungkan kecerdasan dan disiplin moral, yaitu SMA Taruna Nusantara Magelang. Betapa kagum melihat  disiplin dan ketertiban mereka. Ketika mereka makan di ruang makan, bahkan tas dan topinya pun baris, diletakkan dengan rapi di luar ruangan. Hampir semua lulusan SMA Taruna Nusantara diterima di perguruan tinggi negeri terkemuka, di dalam dan luar negeri, dan di AKABRI (Akpol).
   
Sudah saatnya pendidikan moral dan budi pekerti dimasukkan lagi dalam kurikulum. Kita harus jujur, kalangan guru pun saat ini banyak yang tidak terlihat sebagai pendidik. Para pendidik pun sudah banyak yang dirasuki materialisme. Apa boleh buat, karena pendidikan kita pun dirasuki materialisme dan liberasisasi.

Pendidikan adalah satu jalan untuk memerangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dan itu tugas pokok pemerintah. Kita harus jujur, pemerintah masih berhutang banyak: menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai, meningkatkan mutu guru dan pendidik, dan memberi akses pendidikan yang bermutu kepada masyarakat secara adil. Tugas pemerintah menyediakan pendidikan terjangkau dan bermutu. Karena untuk itulah negara ini dibentuk, pemerintahan dipilih, dan kementerian dibentuk. * Nestor

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan beri komentar