![]() |
ketika tidur, aspirasi apa yang mereka dengar |
Dalam peringatan Hari Kemerdekaan kali ini kita perlu secara khusus menyoroti Dewan Perwakilan Rakyat, karena bagaimanapun warna kehidupan politik dan bernegara kita selama era reformasi ini banyak ditentukan lembagan negara ini. Apa yang mereka lalukan selama ini? Sebagai lembaga perwakilan rakyat, sudahkah DPR kita mewakili aspirasi rakyat?
Salah satu perubahan penting dan mendasar dalam peralihan kehidupan politik dari rezim Soeharto ke era reformasi adalah pudarnya peran sosial-politik ABRI-Polri dan naiknya supermasi sipil yang diwakili oleh partai politik. Peran partai-partai politik menjadi dominan, karena fungsi lembaga DPR diperluas dengan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Kini, hampir tidak ada perundangan, peraturan, dan kebijakan yang tidak melewati DPR. Boleh disebut semua perubahan besar yang kita jalankan selama ini, seperti desentralisasi (otonomi daerah), pemilihan umum langsung, dan sebagainya adalah hasil kerja partai politik yang diwakili kader-kader mereka di DPR. Begitu pula kegiatan rutin krusial, seperti penetapan APBN, dan penetapan pejabat-pejabat publik.
Sekarang ada satu pertanyaan penting: apakah hasil kerja partai dan kader-kader partai ini sudah mengantar kita ke situasi kebangsaan yang lebih baik?
Malas dan Manipulatif
Kita harus jujur, belakangan ini banyak kalangan menilai berbagai kemerosotan yang menimpa bangsa kita akhir-akhir ini justru karena ketidakberesan kader-kader partai di DPR. Apalagi setelah belakangan terbukti lembaga DPR telah dirasuki korupsi dan sogok-menyogok.
Kinerja dan citra buruk DPR mulai terungkap dalam periode lalu. Sampai akhir masa kerjanya, 30 September 2009, DPR periode 2004 – 2009. hanya berhasil menyelesaikan 193 UU dari 284 RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas 2005 – 2009). Artinya, ada 91 RUU atau sekitar 30 tidak terselesaikan. Itu pun, 67 UU yang mereka hasilkan tersebut kemudian dinyatakan Mahkamah Konstitusi terbukti cacat hukum.
Belakangan beberapa anggota DPR ditangkap, diadili, dan masuk penjara karena tindak pidana korupsi. Berbagai keputusan yang diambil DPR ternyata berbau sogokan, yang dilakukan lewat anggota DPR. Antara lain dalam kasus pelepasan hutan untuk areal perkantoran di Bintan (Riau) dan untuk pelabuhan di Tanjung Api-api (Sumsel), pengadaan alat di Dirjen Perhubungan laut, dan pengangkatan Deputi Gubernur BI.
Kenyataan ini membuat banyak pihak curiga banyak keputusan dan UU yang dihasilkan DPR, terutama yang kemudian dinyatakan MK cacat hukum, tidak lepas dari sponsor atau sogok-menyogok. Berbagai UU dalam bidang politik, seperti UU Pemilu, UU Partai Politik, dan UU tentang DPR/DPRD dicurigai dipenuhi kongkalikong untuk kepentingan partai-partai, bukan kebaikan demokrasi dan kehidupan bangsa.
Penilaian pun merembet hal-hal lain. Belakangan terungkap banyak anggota DPR yang malas dan sering absen. Dalam sidang-sidang tanda tangan dalam absen memenuhi kuorum, tapi ruang sidang kosong. Jujur, DPR periode 2004 – 2009 membuat citra DPR sebagai lembaga terhormat tiba-tiba hancur.
Rakus dan Rapuh
DPR periode 2009 – 2014 memulai tugas awal Oktober 2009. Sekitar 70 persen dari anggota ini adalah muka baru yang belum berpengalaman dalam kehidupan berpolitik dan pemerintahan. Mereka adalah kader dari kader 9 partai yang lolos treshshold, yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra, dan Hanura. Banyak dari mereka berasal dari kalangan artis dan selebriti.
Sejak awal, legislator-legislator muda ini sudah mendapat sorotan dan citra buruk.
Sorotan pertama karena pelantikan mereka menghabiskan anggaran biaya Rp 43 miliar lebih. Biaya yang dianggap pemborosan, berlebihan, dan seperti tidak menghiraukan kemiskinan rakyat. Ketika pembekalan dan persiapan pelantikan di Hotel Borobudur, Jakarta, 28 – 30 September 2009, para anggota DPR baru ini tidak menunjukkan keseriusan. Banyak yang mundar-mandir atau ngobrol di luar ruangan.
Perilaku tidak serius itu ternyata terus berlangsung hingga kini setelah sepuluh bulan mereka menjadi anggota dewan. Belakangan ini ramai pemberitaan tentang banyaknya anggota DPR yang absen dalam sidang-sidang. Rapat sering tertunda karena menunggu kehadiran anggota dewan. Tidak hanya itu. Seperti DPR periode sebelumnya, tanda tangan dalam absen banyak, tapi ruang sidang kosong melompong. Kalaupun hadir dalam ruang siding, sebagian dari mereka asyik ngobrol, menelepon, atau bermain gadget, seperti iPad, handphone, atau kamera digital. Bukan serius memikirkan rakyat.
Tapi bukan hanya itu yang membuat rakyat tersentak. Belum lama ini para wakil rakyat yang terhormat ini dengan gigih memperjuangkan agar diberi “dana aspirasi” Rp 15 miliar per tahun per orang. Katanya, untuk melaksanakan pembangunan di daerah pemilihan masing-masing. Lho, wakil rakyat kok jadi pelaksana pembangunan? Legislatif kok jadi eksekutif. Ini logika dari mana?
Tentu, semua pihak menentang. Semua orang menilai itu cuma akal-akalan anggota DPR untuk mengeruk uang rakyat untuk memperkaya diri sendiri. Bayangkan, 560 orang kali Rp 15 miliar. Hampir Rp 8, 4 triliun. Teganya mereka. Begitu banyak rakyat negara ini yang masih ternggelam dalam kemiskinan dan tak bisa makan.
Tapi anggota DPR ini belum menyerah. Belakangan mereka meminta lagi Rp 200 juta per anggota per tahun untuk mendirikan “rumah aspirasi” di daerah pemilihan. Sungguh tak masuk akal. Setiap anggota DPR mendapat gaji bersama tunjangan-tunjangan sebesar Rp 60 – 70 juta per bulan. Kalau hanya menyewa rumah dan menggaji staf sebagai tempat menampung aspirasi rakyat, masa tidak bisa?
Dana rakyat yang tersedot untuk kepentingan DPR agaknya terus berkembang luar biasa besar. Belum lama ini diberitakan DPR akan membangun kantor yang menelan biaya total Rp 1,8 triliun. Banyak kalangan yang menentang, karena kantor baru belum tentu meningkatkan kinerja DPR. Besarnya anggaran itu dinilai menunjukan tidak sensitifnya anggota DPR terhadap persoalan nasib rakyat rakyat. Tapi, apapun kata orang, dalam APBN-P 2010 sudah tercantum dana Rp 250 miliar untuk memulai pembangunan kantor itu.
Belum lama ini juga diberitakan renovasi 495 rumah jabatan anggota DPR RI di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, plus pembangunan sepuluh rumah baru, yang menelan anggaran total Rp 445 miliar. Bayangkan, hampir Rp 900 juta untuk renovasi satu rumah. Anehnya, dalam APBN-P 2010 dialokasikan pula Rp 93,4 miliar untuk sewa rumah anggota DPR.Angka-angka yang berlebihan dan tumpang tindih. Jangan kaget, DPR juga disediakan dana Rp 120 miliar untuk biaya studi banding ke luar negeri. Karena itu ada kalangan yang berkata dengan sinis, kalau semua nafsu anggota-anggota DPR dipenuhi, jangan-jangan 70 persen dari uang rakyat habis tersedot untuk mereka.
Tanpa Aspirasi
Apa boleh buat, rasanya belum ada prestasi anggota DPR saat ini yang pantas dicatat, selain kegigihan “aspirasi” tadi. Mereka menghasilkan banyak waktu untuk membahas kasus Bank Century, tapi seperti kita semua tahu, sampai sekarang hasilnya tidak jelas. Terkesan, semua hanya tarik ulur dan basa-basi, seperti juga dalam kasus Komjen Susno Duadji dan kasus pajak Gayus Tambunan. Sementara dalam legislasi, dari 70 RUU yang direncanakan dalam Prolegnas 2010, sampai kini baru selesai 5 UU.
Kita sadar, banyak dari anggota DPR saat ini kader politik baru dan karbitan dari kalangan artis tanpa wawasan kebangsaan yang jelas. Rakyat tidak antipati. Tapi apa yang bisa mereka berikan kepada rakyat dari gedung DPR? Apakah mereka memperjuangkan aspirasi rakyat, atau hanya gigih memperjuangkan aspirasi sendiri?
Kita harus mengakui, di antara di antara para anggota dewan yang terhormat mereka ada yang sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi masyarakat dan serius memikirkan kesejahteraan rakyat. Tapi harus diakui juga, banyak yang tidak berbobot dan memalukan..
Contohnya seperti yang dilakukan anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Demokrat Andi Rachmat saat rapat dengar pendapat dengan Bank Mandiri, 27 Juli lalu. Andi meminta agar diajak bila Bank Mandiri melakukan kerja ke luar negeri, untuk membantu melakukan lobi. Juga agar dilibatkan dalam pelaksanaan CSR Bank Mandiri di daerah (Media Indonesia, 28/7/2010)..Sungguh heran seorang anggota dewan yang terhormat merendahkan martabat dengan meminta-minta jadi pengawas kerja seperti itu. Tapi, ya, agaknya begitulah kualitas anggota DPR sekarang ini.
Ada kesan, sekarang ini koalisi tidak hanya terjadi antar-partai di DPR. Tapi sudah antar Parlemen dan Pemerintah. DPR menyetujui semua rencana pemerintah, dan pemerintah memenuhi semua permintaan DPR. Kalau sudah begini, siapa lagi yang berada di pihak rakyat?
Partai politik kini berada di era kritis, karena rakyat mulai jenuh dengan kondisi dan perilaku politik selama ini. Lama-lama partai politik dan DPR bisa dibenci. Para pimpinan partai politik perlu menyadari semua gejala buruk ini. Mereka perlu menanamkan platform idealisme yang jelas terhadap kader-kadernya, agar mampu melakukan peran politiknya di DPR.
Jika ingin terhormat dan dihargai sebagai wakil rakyat, anggota DPR harus mengemban aspirasi masyarakat, dan mendahulukan kepentingan rakyat. Harus ber-empati pada kehidupan rakyat yang kini parah dan berdarah-darah. Apakah anggota dewan yang terhormat merasakan itu? * Nes
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan beri komentar