Bulan ini Indonesia genap 65 tahun merdeka. Mungkin banyak yang pantas kita syukuri. Tapi rasanya tak kalah banyak yang masih harus kita sedihkan. Negara kita, terutama pada tahun-tahu terakhir, semakin lama terasa kian kehilangan persatuan dan rasa kebangsaan. Dan rakyat seperti kehilangan pimpinan, seolah berjalan tanpa peta.
Terjadinya suatu bangsa, adalah menyatunya sekelompok masyarakat di satu wilayah dalam satu identitas dan aturan hidup bersama. Begitu pula terbentuknya bangsa Indonesia. Kita merasa dan menyatakan bahwa kita adalah satu. Satu bangsa, satu bahasa, satu perasaan, dan satu tujuan: menjadi bangsa yang berdaulat, dengan rakyat yang sejahtera!
Namun, rasanya kita harus jujur, setelah melalui perjalanan panjang 60 tahun lebih, kita belum kunjung sampai di tujuan itu. Bahkan tahun-tahun terakhir tujuan itu terasa makin mengabur. Kita tak kunjung menjadi bangsa yang mandiri. Rakyat justru makin miskin, sementara biaya kebutuhan hidup makin mahal. Korupsi luar biasa besar dan merata ke segala bidang. Pemerintah sering terasa tanpa hati, tak perduli penderitaan rakyat. Penerapan hukum tak memberi rasa keadilan. Sementara wakil rakyat tidak mewakili aspirasi masyarakat. Dan yang lebih menyedihkan, rasa persatuan antara kita seperti menghilang.
Apa sebenarnya yang terjadi dengan Indonesia kita? Inilah sederet “jantung” persoalan, yang seharusnya membuat kita pantas menangis.
Pecahnya Rasa Persatuan
Rasa persatuan, rasa kebangsaan, adalah modal utama sebuah bangsa. Tapi justru itulah yang terasa hilang setelah bangsa kita meluncurkan reformasi satu dasawarsa yang lalu. Semua orang berbicara tentang dan atas nama demokrasi, tapi tanpa rasa kebangsaan. Hanya untuk kepentingan kelompok, kepentingan partai, atau diri sendiri. Demokrasi kita akhirnya terasa jadi omong kosong.
Sedihnya, hilangnya makna rasa persatuan dan kebangsaan itu juga terjadi dalam bidang pemerintahan dan teritorial. Atas nama reformasi dan demokrasi kita meluncurkan otonomi daerah. Daerah-daerah dimekarkan. Provinsi memecah. Kabupaten membelah. Alasan dan tujuannya, untuk mempercepat pembangunan. Untuk memperpendek jarak pelayanan kepada rakyat, dan memberi kesempatan kepada daerah-daerah untuk mengembangkan potensi.
Entah apa yang terjadi, kata bertuah NKRI alias Negara Kesatuan Republik Indonesia tiba-tiba seperti kehilangan makna. Indonesia seperti terpecah-pecah menjadi “negara-negara kecil”, sesuai selera kepala daerah yang memimpin. Dalam konsep demokrasi otonomi daerah, siapa saja, entah kader partai, mantan pejabat, atau pengusaha bisa jadi kepala daerah. Kualifikasi dan kemampuan manajemen birokrasi seperti tidak perlu lagi.
Apa yang terjadi? Penanganan pembangunan dan pengelolaan pemerintahan tidak lagi seragam. Gubernur, bupati dan walikota merasa punya wewenang sendiri. Salah satu bukti, lahirnya belasan ribu peraturan daerah (perda), dan ribuan dari Perda itu harus dibatalkan karena bertentangan dengan undang-undang. Semua daerah berlomba membuat perda semau sendiri. Wibawa gubenur sebagai wakil pemerintah (Pusat) di provinsi seperti hilang, karena bupati dan wali kota bisa memutuskan peraturan dan apa saja di daerahnya bersama DPRD. Tali komando pemerintahan nasional seperti buyar. Kita seolah menjadi negara federasi yang terpecah-pecah sangat kecil, dan barangkali menjadi negara federasi paling “buyar” di dunia.
Hasilnya? Ada daerah yang berkembang cukup baik. Tapi mayoritas hanya jalan di tempat. Dana besar yang dikucurkan pemerintah langsung dari pusat ke daerah habis untuk biaya birokrasi dan dikorupsi. Sementara rakyat tak kunjung sejahtera. Bahkan di banyak daerah lingkungan jadi hancur, karena kepala daerah memberi ijin pada pengusaha-pengusaha untuk menjarah alam.
Budaya Kerusuhan & Kekerasan
Akan tetapi, yang jauh lebih memprihatinkan adalah sikap “semau sendiri” itu juga menular dalam perilaku sosial dan politik. Sikap ngotot, tidak mau mengalah, dan menghalalkan segala cara tiba-tiba menjadi warna khas perilaku masyarakat kita. Segala persoalan dihadapi dengan demonstrasi, kalau perlu dengan kekerasan. Rakyat negeri ini tiba-tiba kini berada dalam suatu siklus kebiasaan melakukan kekerasan untuk menunjukkan ekspresi.
Kita dusta kalau bilang tidak cemas dengan kebiasaan unjuk rasa dan kekerasan yang sekarang melanda bangsa kita. Rakyat negeri kita kini seperti tidak percaya dengan jalan hukum dan memilih memecahkan persoalan di jalanan. Di sana sini terjadi kekerasan dan amuk massa. Lihatlah kerusuhan memperebutkan makam di Tanjung Priok, kerusuhan di galangan kapal di Batam, atau amuk massa jelang Pilkada di Mojokerto. Pelaksanaan Pilkada, penertiban pedagang, pembenahan lingkungan, penggusuran tanah, bahkan bahkan pelaksanaan ibadah pun diwarnai kekerasan. Terasa amat menyedihkan, karena rasa persatuan di antara rakyat bangsa kita semakin menghilang. Bahkan organisasi massa (ormas) pun merasa berhak menggempur orang dengan semena-mena.
Namun, terasa lebih menyedihkan karena negara pun ikut dalam kekerasan itu. Dalam berbagai kejadian, justru polisi dan Satpol PP yang menjadi pelaku kekerasan. Sementara dalam berbagai kerusuhan yang dilakukan masyarakat, aparat pemeritah hanya sekedar menonton atau melakukan pembiaran. Sekedar gambaran, sepanjang tahun 2009, tercatat terjadi 139 kasus kekerasan. Sebanyak 101 merupakan tindakan aktif negara, sedang 38 kasus merupakan tindakan pembiaran. Dari sudut pelaku, paling banyak dilakukan Kepolisian (48 tindakan), Departemen Agama (14 tindakan), disusul pemerintah daerah, pengadilan, dan institusi lain (Media Indonesia, 3/8/2010).
Lebih menyedihkan lagi, karena kekerasan dan pembiaran pemerintah itu juga terjadi dalam kegiatan pelaksanaan ibadah. Tahun 2009 terjadi 18 peristiwa penyerangan gereja, sedang tahun 2010 sejauh ini sudah terjadi 28 peristiwa. Paling banyak terjadi di wilayah Jawa Barat (16 kasus) dan Jakarta 6 kasus. (Media Indonesia, 27/7/2010).
Sungguh ironi, kekerasan atas nama agama terjadi di negara yang menganut asas kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan ibadah. Penyerangan tidak hanya terjadi terhadap umat Kristiani, juga umat Budha dan umat agama lain. Yang paling mutakhir adalah serangan terhadap jemat Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat, pada 28 Juli, serta bentrokan antara massa ormas dan jemaat yang sedang beribadah di Bekasi, pada awal Agustus 2010.
Absennya negara ini juga terlihat dalam kekerasan-kekerasan yang dilakukan ormas, seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Betawi Rempug (FBR). Ada kesan, mereka dilindungi pihak-pihak elite tertentu. Karena sungguh tak masuk akal, ormas bebas melakukan kekerasan, sementara aparat hanya menonton. Dan lebih tidak masuk akal lagi, pimpinan pemerintahan tidak pernah berbicara tentang kekerasan yang melanda rakyat dan jelas-jelas berpotensi menghancurkan persatuan bangsa.
Kemiskinan Rakyat
Bicara tentang kemiskinan, barangkali kita di Indonesia kini seperti tertutup tipuan fatamorgana. Sekilas terlihat, terutama di kota-kota, banyak orang yang hidup makmur. Ekonomi makro kita pun tampak baik. Tapi jika pergi ke pemukiman-pemukiman, baik di perkotaan maupun di pedesaan, akan terlihat begitu banyak orang yang hidup seadanya dan sulit mencari uang. Pengangguran ada di mana-mana. Jangankan untuk menyekolahkan anak, untuk makan saja susah.
Kenapa bisa begini? Selama ini pemerintah Indonesia cenderung menerapkan teori trickle down effect dalam menggerakkan ekonomi. Dalam kebijakan ini pemerintah memosisikan kaum berpunya, dalam hal ini para pengusaha, sebagai kelas utama dalam menggerakkan perekenomian, dengan harapan pada gilirannya akan menciptakan lapangan kerja.
Tetapi pada realitanya kaum pengusaha ini banyak yang melupakan kaum miskin. Hasilnya, sekelompok kecil orang menguasai aset dan keuangan yang jumlahnya besar, sementara mayoritas rakyat membagi-bagi porsi yang jumlahnya lebih kecil karena tidak punya akses kerja dan ekonomi. Pada akhirnya, kesenjangan akses ekonomi ini merambat ke pendidikan, kesehatan, dan seterusnya. Sementara si pengusaha yang makmur sibuk menanam keuntungan yang diperoleh di mana-mana, mungkin di Singapura. China, Vietnam, atau negara lain.
Kita harus jujur, penanggulan kemiskinan di negara kita masih mandul. Menurut Kepala BPS Rusman Heriawan, laju penurunan angka kemiskinan tahun ini justru melambat. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2010 mencapai 32,02 juta orang atau 13,33 persen. Hanya berkurang 1,51 juta atau 1, 3 persen dibanding Maret 2009 yang mencapai 32,53 juta orang (14,15 persen). Sebanyak 19,92 juta orang penduduk miskin ini berada di pedesaan, sementara sisanya (11,10 juta orang) berada di pedesaan (Kompas, 12/7/2010).
Gambaran ini hampir sama dengan pengungkapan Deputi Wakil Presiden Bidang Kemiskinan Bambang Widianto. Menurut Bambang, selama periode Maret 2009 – Maret 2010, penduduk yang berhasil keluar dari batas kemiskinan tercatat 14,7 juta orang. Tapi dalam periode yang sama ada 13,2 juta orang yang jatuh ke bawah garis kemiskinan. Jadi secara neto jumlah penduduk yang berhasil keluar dari garis kemiskinan hanya 1,5 juta orang.
Mandulnya penanggulangan kemiskinan ini, menurut peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Latif Adam, karena langkah yang dilakukan belum efektif. Anggaran untuk program penanggulangan kemiskinan, yang kebanyakan dibiayai dari hutang luar negeri naik 250 persen, tetapi kemiskinan hanya turun 1 persen. “Dana untuk kemiskinan naik 250 persen, tetapi penurunan kemiskinan hanya satu koma berapa persen. Jadi tidak signifikan,” ujar Latif Adam , di Jakarta, awal Agustus lalu (Media Indonesia, 5/8/2010).
Ketidakberhasilan ini, menurut hasil studi lapangan LIPI, karena banyak program yang tidak mencapai sasaran. Contohnya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang menggunakan kompetisi antar-desa dan mengakibatkan banyak yang tidak mencapai sasaran. Faktor lain, adalah tingkat inflasi yang meningkat seiring dengan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Ketingkat kemiskinan ini diperkirakan akan meningkat lagi akibat kenaikan tarif dasar listrik per 1 Juli 2010 lalu. Ini sungguh membuat kita pantas menangis. Alam negeri kita kaya raya. Tapi segalanya salah kelola, sehingga rakyat tetap miskin, bahkan tergolong penduduk dengan pendapatan per kapita terkecil dan termiskin di dunia.
Korupsi yang Merata
Satu lagi yang tak kalah menyedihkan dalam kehidupan kita berbangsa saat ini, adalah realita semakin besar dan meratanya korupsi. Rakyat kini justru menyaksikan bukti bahwa korupsi itu nyata dan besarnya luar biasa, mulai dari pusat hingga daerah-daerah. Tidak tanggung-tanggung, yang terjerat tindak pidana korupsi justru orang-orang yang seharusnya menegakkan hukum dan membela rakyat, seperti kepala daerah dan anggota DPR (lihat: Wakil Rakyat Tanpa Aspirasi Rakyat).
Bukti betapa tren korupsi kian meningkat dan merata dikemukakan peneliti senior ICW Febri Hendri, 4 Agustus lalu. Menurut catatan ICW, tren korupsi semester I, dari 1 Januari hingga 30 Juni 2010, tercatat 176 kasus. Sebanyak 441 orang ditetapkan sebagai tersangka, dengan kerugian negara mencapai Rp 2,1 triliun. Pada periode yang sama tahun 2009, hanya ada 86 kasus, 217 tersangka, dengan kerugian negara Rp 1,17 triliun.
Kasus korupsi yang dipantau ICW adalah yang statusnya dalam tahap penyidikan oleh kejaksaan, kepolisian, dan KPK, serta tersangkanya sudah ditetapkan. Mayoritas perkara ditangani kejaksaan (137 kasus), kemudian kepolisian (25 kasus), lalu KPK (14 kasus). Jumlah terbesar tersangka adalah dari lembaga eksekutif (280 kasus), kemudian swasta (85 kasus), legislatif (52 kasus), dan masyarakat (17). Sementara korupsi terbesar di daerah adalah penyelewengan APBD (Kompas, 5/8/2010).
Peningkatan jumlah kasus yang terungkap ini, bukan indikasi karena peningkatan kinerja penegak hukum, tapi karena jumlah korupsi memang meningkat, terutama korupsi yang terjadi di daerah. Korupsi APBD terbesar adalah pembobolan kas daerah Aceh Utara sebesar Rp 220 miliar yang dilakukan oleh Bupati. Kemudian korupsi APBD Kab. Indragiri Hilir (Riau) sebesar Rp Rp 116 miliar, dan korupsi kas daerah Kab. Pasuruan (Jatim) sebesar Rp 74 miliar, dan korupsi dana otonomi daerah Kab. Boven Digul (Papua) sebesar Rp 49 miliar.
Bukti yang dikemukakan ICW seperti saling melengkapi dengan data yang diungkapkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, di Jakarta, 16 Juni 2010 lalu. Bahwa hingga Juni itu Presiden sudah mengeluarkan lebih dari 150 izin pemeriksaan terhadap para kepala daerah yang terbelit kasus korupsi. Dan jumlah itu kemungkinan masih bertambah karena masih ada yang dalam proses pengeluaran ijin.
Banyaknya pejabat daerah yang terjerat kasus korupsi ini sangat memprihatikan. Ini bukan hanya menunjukkan betapa buruknya pengelolaan buruknya keuangan di daerah, tapi juga membuat macetnya roda pemerintahan dan pembangunan di daerah-daerah. Lalu, kapan nasib rakyat akan membaik?
Aneka Persoalan Krusial
Masih banyak persoalan krusial lain yang pantas membuat kita prihatin. Semua saling kait dengan persoalan-persoalan di atas, yang pada akhirnya membuat kita miris, karena pada ujung-ujungnya membuat rakyat semakian menderita dan betapa kita memalukan sebagai bangsa.
Contoh lain adalah betapa kita begitu banyak menghamburkan uang biaya birokrasi dan demokrasi. Tahun 2009 lalu negara kita melaksanakan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pesta demokrasi tersebut menghabiskan anggaran sekitar Rp 2 triliun. Tahun 2010 ini, Indonesia harus melaksakan Pilkada di 244 daerah. Menurut perkiraan Mendagri, pilkada massal ini menghabiskan Rp 3,45 triliun. Namun menurut perkiraan KPU, biaya penyelenggaraan 2010 – 2014 bisa mencapai Rp 15 triliun (Kompas, 24/7/2010).
Ini semua diluar biaya yang dihabiskan para calon peserta pemilihan. Biaya dari kantong perorangan ini bergerak dari ratusan juta hingga ratusan miliar. Inilah yang diperkirakan menimbulkan maraknya korupsi di daerah. Setelah terpilih, para kepala daerah ini berusaha mengembalikan uang yang dikeluarkan. Lalu terjadilah penyelewengan-penyelewengan.
Entah bagaimana, kita bisa jadi sesemrawut ini. Tapi yang ingin kita katakan betapa borosnya biaya demokrasi kita. Begitu pula biaya birokrasi. Pemekaran provinsi dan kabupaten pun pada akhirnya menghabiskan uang untuk membangun kantor-kantor dan membayar pegawai. Lalu, rakyat kebagian apa? Mana anggaran untuk peningkatan kesejahteraan rakyat? Jangan lupa, untuk mencicil hutang luar negeri kita saja sudah habis Rp 250 triliun per tahun.
Semua ini, seperti disebut di awal tulisan ini, pantas membuat kita prihatin, bahkan menangis sebagai bangsa. Bahwa betapa setelah 65 tahun merdeka kita justru tak kunjung membaik dan mandiri sebagai bangsa. Bahwa kita tak kunjung mampu membuat rakyat kita sejahtera. Malah sebaliknya, sering membuat rakyat lebih menderita.
Contohnya dalam penegakan dan penerapan hukum. Ketika rakyat masih banyak yang miskin dan menderita, penegakan hukum di negara kita justru sering melukai, bukan melindungi dan memberdayakan orang kecil. Para penegak hukum sering menerapkan hukum dengan tajam menghujam kepada orang-orang miskin dan lemah, sementara pada saat yang sama hukum begitu tumpul terhadap orang mampu dan berkuasa. Seorang nenek yang mengambil tiga biji buah kakao dijatuhi hukuman, sementara banyak kasus hukum orang beruang dan yang punya akses terhadap kekuasaan dihentikan lewat Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) dari Kepolisian, atau Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKP2) dari Kejaksaan. Contohnya para konglomerat yang mengemplang ratusan triliun dana BLBI.
Negara kita dibangun di atas faham kemanusiaan. Hukum diciptakan untuk menciptakan keadilan dan melindungi masyarakat. Kalau penerapan hukum dijadikan alat pemerasan, penindas orang kecil, dan senjata bagi orang yang berkuasa, kita pantas malu sebagai bangsa. Seperti juga para pemimpin seharusnya malu, karena semua persoalan di atas masih terjadi di negeri yang dipimpinnya.
Sayang, para pemimpin bangsa kita tahun-tahun belakangan hanya pintar dan sibuk menjaga citra. Pintar merangkai kata-kata dalam pidato, tapi tidak bisa merasakan penderitaan rakyatnya. Padahal, politik pencitraan itu kosong. Ibarat balon warna-warni, yang hanya berisi angin, dan suatu ketika akan meletus.
Kemerdekaan buka sekedar kata-kata. Kemerdekaan bukan sekedar menghias gerbang, mengadakan perayaan, atau menaikkan bendera di istana negara. Tapi sejauh mana kemerdekaan ini telah memberikan sebuah identitas dan kebanggaan kepada kita sebagai bangsa? Sejauh mana kemerdekaan itu memberikan kesejahteraan terhadap rakyat bangsa kita? Itulah kemerdekaan yang sesungguhnya. Dan kita harus jujur, memang banyak yang perlu kita benahi. * Nestor
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan beri komentar