Sekapur Sirih Mang Daya

Antrian BLT

anak jalanan

test iii

buruh tani

Bung Karno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI 65 tahun yang lalu Antrian BLT membuat rakyat Indonesia bagaikan pengemis Anak-anak pun dipaksa menjadi pengemis di jalanan kota-kota besar BBM yang jadi kebutuhan rakyat banyak kian sulit dijangkau Usia lanjut masih menjalani sebagai buruh tani. Pertanian tak lagi banyak memberi harapan

Sabtu, 07 Agustus 2010

Pantai Tanjung Karang, Potensi Wisata Kota Palu

indahnya pantai Tanjung Karang, Donggala
Pantai Tanjung Karang, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, memancarkan pesona alam yang indah. Pasirnya putih berkilau dan warna lautnya biru bening. Sungguh sebuah tempat wisata yang potensial yang dimiliki Provinsi Sulawesi Tengah.

Akan tetapi sayangnya, nampak sekali potensi itu belum dikembangkan secara secara apik.  


Patut disyukuri, bangsa Indonesia diberi karunia begitu banyak oleh Sang Maha Pencipta. Sumberdaya alam berlimpah lengkap dengan indahnya pemandangan. Seperti misalnya Pantai Tanjung Karang yang berada di Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah.

Berjarak 34 kilometer dari pusat Kota Palu Sulteng, Pantai Tanjung Karang dapat ditempuh kendaraan roda empat dengan memakan waktu sekitar satu jam. Hal ini lantaran infrastruktur jalan menuju tempat tersebut berlika-liku yang tampak menyisir  garis pantai, tidak terlalu lebar, dan beberapa ruas terkadang masih kurang baik sehingga kendaraan harus berjalan lambat.
Bahkan, mendekati Pantai Tanjung Karang, masih terdapat jembatan sempit yang dibuat dari batang pohon kelapa sehingga kendaraan harus berjalan dengan benar-benar sangat lambat dan hati-hati. “Kondisi seperti ini sudah cukup lama,” ujar Arman, warga Donggala yang bekerja sebagai supir penyewaan mobil di Kota Palu, yang mengangkut Jurnal Berdaya menuju Pantai Tanjung Karang.

Tidak jauh dari jembatan ini, kembali ditemui jalanan yang masih dalam kondisi kurang baik dan bergelombang, karena adanya pengerjaan proyek pembangunan oleh Pemkab Donggala berupa proyek reklamasi pantai tepatnya laut dibendung menjadi semacam waduk untuk pusat rekreasi. Menurut Arman, proyek tersebut sudah berjalan cukup lama dan dinilainya tidak banyak kemajuan. “Sudah tahunan tapi belum juga kelihatan kapan akan selesai,” tuturnya tanpa menyebutkan berapa tahun persisnya proyek pembangunan itu sudah berjalan dan tidak terselesaikan.

Pantai Tanjung Karang lokasinya tidak jauh dari pusat Kota Donggala. Ia berjarak sekitar 5 kilometer. Kota Donggala sendiri merupakan salah satu kota tua yang menyimpan cukup banyak sejarah arsitektur Belanda. Pada masa kolonial, Donggala lebih dikenal sebagai kota pelabuhan dan perdagangan yang cukup sibuk. Jadi, cukup beruntung, meski perjalanan agak melelahkan, tidak terasa begitu membosankan karena banyak pemandangan indah di sepanjang jalan dan disuguhi cerita dari si sopir.

Keindahan Pantai

Tiba di Pantai Tanjung Karang, kita langsung dapat menemukan pantai dengan suasana sangat alami. Kedua kaki langsung dapat menapaki putihnya hamparan pasir putih. Kedua mata dapat menatap jernihnya air laut yang berwarna biru karena terkena pantulan langit. Perpaduan keduanya, membuat suatu atmosfer keindahan yang tiada tara. Sungguh fantastis. 

Pantai Tanjung Karang juga memiliki lanskap yang unik. Di satu sisi, terdapat pantai landai dengan hamparan pasir putih dengan air yang dangkal. Di sisi lain, ada tebing tinggi dengan laut yang cukup dalam. Bagian inilah yang menjadi magnet bagi para penyelam dan pencinta snorkeling. Mereka tidak perlu susah-susah menyelam hingga dasar dan berenang hingga ke tengah laut. Hanya melangkah tiga meter dari bibir pantai, para pencinta snorkeling bisa melihat berbagai koleksi terumbu karang yang masih alami. “Pantai Tanjung Karang terkenal sebagai surganya penyelam dan pecinta snorkeling,” aku Arman.   



Dari pantai yang dinamai Tanjung Karang ini terlihat pula Kota Donggala dan sebagian wilayah Kota Palu serta desa-desa di pesisir pantai barat Kabupaten Donggala. Bahkan kalau malam hari, suasana semakin indah sebab lampu penerang aneka warna dari kejauhan berkelap-kelip, selain sinar Mercusuar yang dibangun oleh Departemen Perhubungan di sudut tanjung ini.

Namun, entah memang sengaja atau tidak, Jurnal Berdaya tidak dapat menemukan adanya toko atau pusat perbelanjaan yang menjajakan semacam souvenir atau pernak-pernik khas dari Sulteng maupun Kabupaten Donggala. Di sepanjang pantai ini, hanya ada deretan rumah pantai sederhana untuk pengunjung bisa bersantai maupun menginap di Pantai Tanjung Karang. “Sewa rumah pantai ini, sehari semalam Rp300 ribu. Tersedia juga air bersih di dalam,” ujar ibu pemilik rumah pantai yang juga membuka usaha warung kopi dan makanan persis di belakang rumah pantai. 

Bila tidak menginap, pengunjung dapat duduk-duduk santai sambil menikmati makan di bangunan sederhana berupa saung kecil dengan sewa Rp25 ribu. Dari ibu pemilik rumah santai tadi, diketahui bahwa rumah pantai di sepanjang Pantai Tanjung Karang sekarang ini sudah banyak dimiliki orang kota, karena penduduk setempat banyak yang menjualnya kepada mereka. “Orang kota  menjadikan rumah pantai ini semacam villa. Hanya pada waktu tertentu, mereka datang ke sini. Paling sering saat merayakan natal dan tahun baru,” tuturnya.    

Tidak Banyak Perubahan

Sekilas, mendengar penuturan ibu itu ada perubahan yang terjadi di Pantai Tanjung Karang. Namun, pengakuan Arman, sepanjang hidupnya yang besar di Kabupaten Donggala, ia merasakan tidak banyak perubahan berarti terjadi di kota Donggala, bahkan di Kota Palu sendiri. “Bandar Udara Mutiara Palu masih sama seperti dulu. Mirip teminal bis,” ujarnya mengutip seorang tamu yang datang berkunjung ke Sulawesi Tengah. “Malu juga saya disindir seperti itu,” tambahnya.

Menurut Arman, Kota Palu jauh tertinggal dengan daerah lain yang ada di Sulawesi, termasuk oleh daerah baru hasil pemekaran seperti Provinsi Gorontalo. “PLTA berada di Sulteng tapi lebih besar manfaatnya untuk Provinsi lain,” ujarnya bernada kesal. Lantas, tak segan-segan ia mengatakan, kalau orang Jawa dicalonkan menjadi kepala daerah, lebih baik ia memilih orang Jawa itu. “Daripada saya pilih putra daerah tapi tidak maju-maju juga,” tegas bapak dua anak berusia 38 tahun ini menumpahkan kekecewaannya.

Sampai sekarang, kata Arman, dirinya masih juga seringkali merasa malu kalau mengantar tamu berkunjung ke Pantai Tanjung Karang. Pasalnya, Pantai Tanjung Karang ia lihat masih belum bersih dari sampah laut yang kadang menumpuk di bibir pantai. “Apa sih susahnya Pemda menganggarkan untuk kebersihan pantai ini,” tandasnya. (sis)

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan beri komentar